Lompat ke isi utama

Berita

UJUNG TOMBAK PENEGAKAN PROTOKOL KESEHATAN PILKADA SERENTAK LANJUTAN TAHUN 2020 BERADA DITANGAN BAWASLU?

Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (CoVID-19) yang kian hari tingkat penyebarannya semakin tinggi, cepat, luas serta tidak terkendali, menjadikan alasan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menetapkan penyebaran CoVID-19 sebagai pandemi global pada tanggal 11 Maret 2020, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus selaku Direktur Jenderal WHO pada tanggal 12 Maret 2020 melalui Konferensi Pers WHO. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia menindaklanjuti dengan menetapkan penyebaran CoVID-19 di Indonesia sebagai bencana nasional non-alam yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (CoVID-19) sebagai Bencana Nasional tanggal 13 April 2020, dengan pertimbangan bahwa bencana non-alam yang disebabkan oleh penyebaran CoVID-19 telah berdampak meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, serta menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi yang luas di Indonesia[1]. Penetapan CoVID-19 sebagai pandemi global dan/atau bencana nasional non-alam, berakibat pada penundaan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2020 di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor: 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 tanggal 21 Maret 2020 tentang

Penundaan Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020 Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19. Penundaan penyelenggaraan Pemilu tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di beberapa Negara. Berdasarkan data dari Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mencatat setidaknya ada 62 (enam puluh dua) Negara yang menunda pemilu, baik itu pemilu nasional maupun subnasional.

Di Indonesia, penundaan penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020 juga mendapat persetujuan oleh anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagaimana tercantum dalam hasil rapat kerja/rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) pada hari Senin tanggal 30 Maret 2020.

Penundaan yang dimaksud, yakni dikarenakan pada saat CoVID-19 ditetapkan sebagai pandemi global / bencana nasional non-alam, bertepatan dengan proses penyelenggaraan tahapan Pilkada 2020 yang sedang berlangsung. Namun, mengingat situasi yang tidak memungkinkan dan mengkhawatirkan untuk dilanjutkan, memaksa agar proses penyelenggaraan dihentikan sementara atau ditunda dengan mengacu pada istilah “Pemilihan Lanjutan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Pada awalnya, pemungutan suara Pilkada Serentak Tahun 2020 diselenggarakan pada tanggal 23 September 2020. Namun, akibat dari penundaan tersebut, penyelenggaraan pemungutan suara Pilkada Serentak Tahun 2020 diselenggarakan tanggal 9 Desember 2020. Penetapan tanggal pemungutan suara Pilkada Serentak Tahun 2020 menjadi tanggal 9 Desember 2020 merupakan hasil dari rapat kerja/rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI dengan Mendagri, KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP RI pada hari Selasa tanggal 14 April 2020. Dalam rapat tersebut, terdapat 3 (tiga) opsi yang diusulkan oleh Pemerintah melalui KPU RI berkenaan dengan tanggal pelaksanaan pemungutan suara. Opsi pertama atau Opsi A, yaitu pelaksanaan pemungutan suara dilakukan pada tanggal 9 Desember 2020 atau ditunda sekitar 3 (tiga) bulan. Opsi B, pelaksanaan pemungutan suara dilakukan pada tanggal 17 Maret 2021 atau ditunda sekitar 6 (enam) bulan. Dan, Opsi C, pelaksanaan pemungutan suara dilakukan pada tanggal 29 September 2021 atau ditunda sekitar 12 (dua belas) bulan. Kemudian, untuk menjadikan dasar atau payung hukum pelaksanaan “Pemilihan Lanjutan” akibat dari penundaan tersebut, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang tanggal 4 Mei 2020.

Pada intinya, Perpu tersebut mengatur tentang pelaksanaan Pemilihan di masa Pandemi (trial and error). Namun, jika pada saat menuju ke tanggal 9 Desember 2020 masih tidak memungkinkan untuk diselenggarakan pemungutan suara, Perppu tersebut memberikan kesempatan agar menunda dan mengatur kembali jadwal pelaksanaan “Pemilihan Lanjutan”, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tersebut.

Rapat kerja/rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI dengan Mendagri, KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP RI kembali digelar pada hari Rabu tanggal 27 Mei 2020 dengan hasil yang pada intinya menegaskan kembali bahwa pelaksanaan pemungutan suara dilaksanakan tanggal 9 Desember 2020 dengan mengacu pada Perppu Nomor 2 Tahun 2020; menyetujui usulan perubahan rancangan Peraturan KPU RI tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020 yang tahapan lanjutannya dimulai pada tanggal 15 Juni 2020, dengan syarat bahwa seluruh tahapan Pilkada harus dilakukan sesuai dengan Protokol Kesehatan, berkoordinasi dengan Gugus Tugas CoVID-19, serta tetap berpedoman pada prinsip-prinsip demokrasi; dan mengusulkan tambahan anggaran bagi penyelenggara Pemilu.

Berdasarkan hal tersebut, kemudian KPU RI mencabut keputusan penundaan Pilkada 2020 melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor: 258/PL.02-Kpt/01/KPU/VI/2020 tanggal 15 Juni 2020 tentang Penetapan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Serentak Lanjutan Tahun 2020.  Dengan dicabutnya status penundaaan tersebut, maka pelaksanaan tahapan penyelengaraan Pilkada Tahun 2020 kembali dilanjutkan pada tanggal 15 Juni 2020 dengan agenda pertama yaitu pengaktifan kembali masa kerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) serta penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020.

Perlu diketahui bahwa tidak hanya di Indonesia yang menyelenggarakan Pemilihan di masa pandemi, setidaknya ada 8 (delapan) Negara yang menyelenggarakan pemilu di tengah pendemi menurut catatan data IDEA per tanggal 23 April 2020. Salah satunya, Korea Selatan (Korsel) yang menyelenggarakan Pemilu DPR pada 15 April 2020. Dengan 10 (sepuluh) ribu lebih orang positif CoVID-19, Korsel justru berhasil mencetak partisipasi Pemilu terbaik sejak Tahun 1992. Angka partisipasinya sebesar 66% (enam puluh enam persen) atau meningkat 8,1% (delapan koma satu persen) dari tahun sebelumnya[1]. Oleh karena itu, optimistis Pemerintah beserta stakeholder lainnya terhadap pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan Tahun 2020 di masa pandemi telah dibuktikan dengan dilakukannya beberapa kali pembahasan sampai dengan penetapan peraturan perundang-undangan, dengan catatan dalam proses pelaksanaannya harus mematuhi serta disiplin pada Protokol Kesehatan, seperti yang telah dilakukan di Korea Selatan. Ketua KPU RI Arief Budiman menilai pelaksanaan pemilu di tengah bencana membutuhkan suatu model atau mekanisme baru. Model yang akan diterapkan di Pilkada Serentak 2020 nanti bisa dijadikan pedoman di kemudian hari. Menurut beliau, bencana akan ada dengan berbagai model, ada bencana alam dan non alam, maka hari ini kita bukan hanya membuat secara teknis, tapi regulasinya, model pelaksanaannya, kulturnya, itu menjadi penting untuk model di masa yang akan datang," kata Arief di Graha BNPB, Jakarta, Senin (6/7/2020). Berangkat dari asumsi demikian, Arief yakin Pilkada Serentak 2020 bakal dijadikan pedoman penyelenggara Pemilu selanjutnya. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengklaim, banyak kepala daerah setuju Pilkada 2020 tetap dilaksanakan pada 9 Desember meski pandemi COVID-19 masih terjadi. Mahfud MD menjelaskan, pemilihan kepala daerah ini tidak mungkin ditunda dengan alasan pandemi. Sebab, tidak ada yang bisa memastikan kapan berakhirnya CoVID-19 ini. Selanjutnya, dalam rangka menindaklanjuti ketentuan dalam Pasal 122A ayat (3) Perppu Nomor 2 Tahun 2020, KPU RI menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) tanggal 6 Juli 2020. Pada prinsipnya, dalam aturan tersebut menambahkan prinsip penyelenggaraan Pilkada dengan mengutamakan prinsip kesehatan dan keselamatan, berpedoman pada protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian CoVID-19, khususnya terhadap penyelenggara Pemilihan, peserta Pemilihan, Pemilih, dan seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilihan, seperti penggunaan alat pelindung diri; secara berkala dilakukan rapid test atau Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) bagi petugas/jajaran KPU yang memiliki gejala atau riwayat kontak dengan orang terkonfirmasi CoVID-19; penyediaan sarana sanitasi; pengecekan kondisi suhu tubuh paling tinggi 37,30 (tiga puluh tujuh koma tiga derajat celcius); pengaturan menjaga jarak bagi seluruh pihak yang terlibat dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan paling kurang 1 (satu) meter penapisan (screening) kesehatan orang yang akan masuk ke dalam ruangan kegiatan; dan lain sebagainya. (vide Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 PKPU No. 6/2020)

Lalu, bagaimana jika dalam prakteknya ditemukan Penyelenggara Pemilihan, Pasangan Calon, Tim Kampanye, Penghubung Pasangan Calon, atau sebutan nama lain para pihak yang terlibat dalam Pemilihan Serentak Lanjutan, tidak melaksanakan prinsip protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian CoVID-19 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 PKPU No. 6/2020? Untuk menjawab hal tersebut, KPU telah mengatur dengan dimuatnya dalam Pasal 11 PKPU No.6/2020 yang menyatakan hal sebagai berikut:

  • Setiap Penyelenggara Pemilihan, Pasangan Calon, Tim Kampanye, Penghubung Pasangan Calon, serta para pihak yang terlibat dalam Pemilihan Serentak Lanjutan wajib melaksanakan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 paling kurang berupa penggunaan masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu;
  • Dalam hal terdapat pihak yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, atau PPS memberikan teguran kepada pihak yang bersangkutan untuk mengikuti ketentuan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
  • Dalam hal pihak yang bersangkutan telah diberikan teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap tidak melaksanakan protokol kesehatan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, atau PPS berkoordinasi dengan Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, atau Panwaslu Kelurahan/Desa untuk mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Secara sederhana, ketentuan dalam Pasal 11 PKPU No.6/2020 tersebut, dapat diulas sebagai berikut:

  1. Dalam ayat (1), menyatakan minimal kewajiban pelaksanaan protokol kesehatan bagi pihak yang terlibat, yakni penggunaan masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu. Untuk hal lain, bersifat kondisional dan masih dapat ditoleransi, tergantung dari eskalasi zona atau kemampuan/ketersediaan di setiap daerah. Contohnya, mesin PT-PCR, atau wilayah dengan zona hijau;
  2. Dalam ayat (2), menyatakan bahwa Penyelenggara dituntut lebih profesional khususnya penyelenggara Pemilu, karena Penyelenggara Pemilu memberikan teguran terhadap subyek yang tidak mematuhi protokol kesehatan, bukan sebaliknya. Namun, pada prinsipnya dukungan dari pihak diluar penyelenggara Pemilu menjadi kunci utama keberhasilan penyelenggaraan Pemilu di masa pandemi dalam rangka menjalankan demokrasi sekaligus mencegah naiknya angka penyebaran CoVID-19 serta memutus rantai penyebaran CoVID-19;
  3. Dalam ayat (3), Bawaslu Provinsi sampai dengan Panwaslu Kelurahan/Desa, seakan mempunyai tugas tambahan, yaitu mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi pelanggar protokol kesehatan bagi yang tidak mengindahkan teguran dari jajaran/petugas KPU Provinsi sampai dengan tingkat PPS. Mengapa menjadi tugas tambahan Pengawas Pemilu, saat ini belum ada kewenangan dari Pengawas Pemilu untuk memberikan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan.

Lalu, muncul pertanyaan, sanksi apa yang dimaksud dari Pasal 11 ayat (3) PKPU No. 6/2020 tersebut? Hingga saat ini, peraturan perundang-undangan Indonesia tidak mengatur secara eksplisit berkaitan dengan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, termasuk Perppu Nomor 2 Tahun 2020 pun tidak mengatur sanksi, hanya mengatur penundaan penyelenggaraan Pemilu dan menambahkan prinsip yang mengutamakan protokol kesehatan.

Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan klasifikasi dugaan pelanggaran yang diatur dalam sistem Pemilu Indonesia, klasifikasi dugaan pelanggaran menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 beserta aturan teknis penanganan laporan/temuan, terdiri dari kode etik penyelenggara Pemilihan, pelanggaran administratif Pemilihan, tindak pidana Pemilihan, peraturan perundang-undangan lainnya. Ditambah dengan sengketa tahapan Pemilihan. Jika mengacu pada klasifikasi pelanggaran tersebut, mungkin untuk sementara dapat masuk dalam klasifikasi dugaan pelanggaran “peraturan perundang-undangan lainnya”. Namun kembali lagi, kemana tujuan rekomendasi sanksi itu akan ditujukan. Anggaplah rekomendasi pelanggaran tersebut ditujukan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) atau Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) CoVID-19, namun sanksi dari aturan yang mana yang akan diterapkan?

Oleh karena itu, menanggapi tentang sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan dalam pelaksanaan Pilkada Lanjutan Serentak Tahun 2020 sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2020, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya sebagai berikut:

  1. Dari segi hukum, penerapan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tidak cukup hanya diatur dalam Peraturan KPU, namun perlu ditegaskan dalam Undang-Undang termasuk mekanisme pemberian sanksi, kewenangan penyelenggara, apa bunyi sanksinya serta substansi hukum lainnya yang diatur di Bab khusus dalam UU Pilkada, sehingga terciptanya kepastian hukum;
  2. Perlu dipertegas apakah sifat koordinasi yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) PKPU Nomor 6 Tahun 2020 adalah Pengawas Pemilu hanya mengetahui saja, yang selanjutnya eksekusi tetap pada KPU atau menyerahkan sepenuhnya kepada Pengawas Pemilu untuk menangani sekaligus memberikan sanksi atau Pengawas Pemilu hanya sebatas pintu masuk, yang selanjutnya Pengawas Pemilu menangani sekaligus merekomendasikan kepada instansi/lembaga yang berwenang untuk eksekusi;
  3. Dari segi teknis, penyelenggara Pemilu harus mampu melakukan strategi pendekatan kepada masyarakat agar masyarakat mentaati protokol kesehatan sehingga penegakan protokol kesehatan tidak sampai dengan penerapan sanksi, cukup dengan teguran saja. Terlebih pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan ini, tidak hanya untuk kepentingan menggugurkan kewajiban, namun upaya untuk menekan angka penyebaran CoVID-19 harus diutamakan. Hal ini tentu dibutuhkan skill komunikasi yang baik bagi penyelenggara agar penyelenggaraan tetap berjalan secara kondusif;
  4. Sebaiknya dibentuk satuan khusus untuk penegakan protokol kesehatan diluar penyelenggara Pemilu yang melakukan pengawasan sekaligus penerapan sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan, mengingat fokus tugas pokok dan fungsi penyelenggara Pemilu serta keterbatasan waktu untuk mengurusi hal tersebut dalam satu waktu;

Kini, Perppu Nomor 2 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota menjadi Undang-Undang. Namun, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 juga tidak mengatur sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan pada penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020. Diharapkan nantinya sebelum semakin jauh tahapan Pilkada Serentak Lanjutan Tahun 2020 ini berlangsung, aturan mengenai sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan sebagaimana dimaksud dalam PKPU, sudah terbentuk struktur serta substansi hukumnya secara jelas, diperkuat dengan Undang-Undang, mengingat “asas legalitas” yang pada intinya menyatakan “tiada hukum tanpa ada kesalahan”. Selain itu, agar tidak menimbulkan kebingungan bagi penyelenggara dalam pengimplementasian aturan sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan apabila terjadi case yang demikian.

Penulis : Ahmad Fikri M.

Aditor : Zainal Muttaqin

Tag
Tak Berkategori